Jumat, 30 Agustus 2013

Keamanan Lereng

Faktor keamanan
Secara umum  faktor  keamanan  suatu  lereng merupakan  perbandingan  nilai  rata-rata  kuat geser tanah/batuan di sepanjang bidang keruntuhan kritisnya terhadap beban yang diterima lereng di sepanjang bidang keruntuhannya. Nilai  faktor  keamanan  yang  sesuai  dengan  bidang  keruntuhannya  juga  perlu mempertimbangkan akibat yang ditimbulkannya, yaitu  korban  jiwa atau kehilangan secara ekonomi.  Tabel  6  memperlihatkan  nilai  faktor  keamanan  yang direkomendasikan  dengan memperhitungkan adanya korban jiwa maupun kehilangan secara ekonomi.   Pada  tabel  tersebut  terdapat  tiga  kategori  resiko  untuk masing-masing  kasus,  yaitu  dapat diabaikan,  rendah  dan  tinggi. Ketiga  kategori merefleksikan  perkiraan  kehilangan/kerugian yang  mungkin  timbul  pada  setiap  peristiwa  keruntuhan  lereng.  Kategori  resiko  ekonomi merefleksikan  perkiraan  besaran  kehilangan  secara  ekonomi  pada  saat  terjadinya keruntuhan. 

Rabu, 06 Februari 2013

Revisi Drainase Perkotaan

Dalam dua dekade terakhir ini banyak terjadi perubahan dalam pengelolaan sistem drainase di perkotaan, terutama ketika muncul kesadaran bahwa :

  1. Alam mempunyai keterbatasan dalam mengalirkan air hujan
  2. Kita tidak dapat seenaknya mengalirkan air segera ke sungai karena ada orang akan menderita kena banjir kiriman kita, walaupun memang akhirnya ke laut
  3. Telah terjadi landsubsidance yang signifikan sehingga banyak pemukiman berada di bawah muka air laut sehingga air yang kita harapkan dapat mengalir keluar ternyata hanya diam di selokan dan meluap jika ditambah hujan lagi
  4. Pelurusan sungai dan normalisasi sungai telah mengorbankan ekosistem sungai sehingga sungai menjadi mati tanpa kehidupan hewan dan tumbuhan air.
Jadi pasti akan ada persoalan jika kita segera membuang air hujan secara langsung ke sungai, maka muncul kebutuhan membangun waduk  banjir (retention storage) yang berfungsi menjadi buffer ketika sungai tidak lagi dapat menerima air buangan kita dapat ditampung disini dan tidak menggenangi lingkunan kita. Ini umum dilakukan di kota kota besar. Biasanya juga dilengkapi dengan sistem pompa untuk mengalirkan air dari waduk ke sungai. Pada kondisi normal waduk banjir juga dapat menjadi wisata air misanlya memancing, atau sekedar daerah hijau paru-paru kota.

Untuk daerah hulu ada yang namanya waduk resapan (detention storage) ataupun terkenal dengan nama Embung, dimana dengan bangunan embung ini diharapkan dapat menahan air lebih banyak di hulu sehingga kota-kota dihilirnya tidak segera menerima luapan banjir akan tetapi tertampung di hulu nya (dalam embung) sehingga dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar embung untuk sumber air baku. Peda Embung juga diharapkan dapat terjadi resapan sebagai pengisian air tanah buatan sehingga dengan adanya air tanah maka menghambat terjadinya land subsidance atau penurunan tanah.

Land subsidance adalah penurunan tanah secara regional karena tanah memadat (settlement), hal ini terjadi karena air tanah yang tadinya mengisi rongga tanah telah habis dipompa dan beban tanah di atasnya terus bertambah oleh bangunan besar dan berat. Ini menjadi tantangan bagi insinyur untuk membangun bangunan yang tidak menyebabkan regional settlement.

Masalah land subsidance dan krisi air bersih di kota besar ini juga menimbulkan kebutuhan sumur resapan saluran resapan dan juga lubang peresapan (biopori) yang sebenarnya diwajibkan untuk pemukiman-pemukiman di kota-kota.
Jika sudah terlanjur berada di cekungan maka sistem drainase Polder manjadi pilihan mutlak dimana sisem ini mengandalkan penutupan area dari banjir, membuat kolam-kolam detensi untuk ujung dari drainase lokal pemukiman. Dari kolam detensi dialirkan ke waduk banjir yang terhubung ke sungai alam dengan menggunakan pompa pompa air yang terus hidup. Hal ini menyebabkan perlunya beberapa pompa untuk shift kerja dan juga untuk cadangan. Sebuah upaya yang mahal dan sulit untuk dapat dimiliki oleh orang  miskin perkotaan.

Masalah kriteria frekwensi banjir yang menjadi patokan dalam membatasi secara ekonomi keandalan bangunan pengendali aliran banjir juga mengalami pergeseran dari tahun ketahun karena alam yang semakin rusak maka iklim menjadi lebih ekstrim. Pemanasan global dan perubahan iklim bukan isapan jempol dan sebaiknya patut diperhitungkan dalam rekayasa drainase. Jadi penggunaan teknologi untuk mengatur jatuhnya hujan untuk mengurangi dampak banjir menjadi lebih sulit dilakukan.

Demikian sepintas pandangan kami sebagai staf pengajar hidrolika universitas janabadra yogyakarta


Nizar Achmad


Senin, 21 Januari 2013

Biopori - untuk pemukiman


Membuat Lubang Resapan Biopori Untuk Pemukiman


Kondisi kota-kota besar umumnya memiliki lahan resapan air yang sangat sedikit sekali dan kepadatan penduduknya yang tinggi menguras persediaan air tanah yang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan turunnya muka air tanah sehingga meninggalkan ruang kosong, dan seterusnya tanah akan memadat dan mengakibatkan penurunan permukaan tanah (land subsidance). Berkurangnya air tanah akan menyebabkan kekeringan yang semakin rutin dan memperparah kondisi lingkungan.

Dengan demikian keseimbangan air di lingkungan harus terus menerus dilestarikan dan dijaga agar tidak semakin rusak dan semakin sulit diperbaiki. Untuk itulah diperlukan adanya gerakan pelestarian alam sekitar yang dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak serta berkesinambungan.

Salah satu cara yang dapat ditempuh masyarakat dalam lingkup kecil seperti pemukiman adalah dengan pembuatan lubang biopori resapan atau LBR. Lubang biopori resapan ini dapat mencegah mengalirnya air hujan untuk terbuang percuma ke laut lepas, dengan cara meresapkannya untuk menjadi airt tanah. Fungsi peresapan buatan ini sangat penting untuk menggantikan peresapan yang terhambat oleh tutupan lahan di lingkungan kita misalnya atap rumah, jalan-jalan, lapangan dengan perkerasan.

Arti definisi dan pengertian lubang biopiro menurut organisasi.org adalah lubang yang dengan diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 30 sampai 100 cm yang ditutupi sampah organik yang berfungsi untuk menjebak aliran di sekitarnya sehingga dapat meresap ke tanah untuk menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah.

Sedangkan sampah organik dari tumbuhan di sekitarnya atau sampah organik dapur yang dimasukkan dalam biopori akan menjadi lapukan, dan menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk tumbuh-tumbuhan. Pelapukan ini terjadi karena kehidupan cacing yang keberadaannya diperlukan untuk membuat lubang-lubang mikro sehingga menjaga atau bahkan meningkatkan kemampuan daya serap/infiltrasi terhadap air .

Tujuan / Fungsi / Manfaat / Peranan Lubang Resapan Biopori / LRB :


  1. Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah.
  2. Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar.
  3. Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit.
  4. Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut.
  5. Mengurangi resiko banjir di musim hujan.
  6. Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah.
  7. Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor.

Tempat yang dapat dibuat / dipasang lubang biopori resapan air :

  • Pada alas saluran air hujan di sekitar rumah, kantor, sekolah, dsb.
  • Di sekeliling pohon.
  • Pada tanah kosong antar tanaman / batas tanaman.


lubang biopori pada selokan drainase rumah

lubang biopori pada ruang kosong taman

lubang biopori pada drainase tanaman dan lingkungan


Sebaiknya LBR ini dibuat di wilayah yang memang potensial untuk meresapkan air jika struktur tanahnya berbutir, muka air tanah yang relatif dalam, dan ditempatkan pada jalur drainase hujan dimana kualitas air yang diresapkan masih cukup baik tanpa campuran limbah-limbah pencemar.

Hindari meresapkan air yang tercemar dan tidak perlu membuat biopori di tempat yang selalu tergenang, kecuali genangan kecil yang dapat menjadi kering dengan dibuatnya biopori.


Cara Pembuatan Lubang Biopori Resapan Air :

1. Membuat lubang silindris di tanah dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman 30-100 cm serta jarak antar lubang 50-100 cm.
lubang biopori dan alat bor buatan  Fakultas Pertanian-IPB

2. Mulut lubang dapat dikuatkan dengan semen setebal 2 cm dan lebar 2-3 centimeter serta diberikan penutup agar tidak ada anak kecil atau orang yang terperosok.

3. Lubang diisi dengan sampah organik seperti daun, sampah dapur, ranting pohon, sampah makanan dapur non kimia, dsb. Sampah dalam lubang akan menyusut sehingga perlu diisi kembali dan di akhir musim kemarau dapat dikuras sebagai pupuk kompos alami.

4. Jumlah minimal lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus :  intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (meter persegi) / laju resapan air perlubang (liter / jam).

Gunakan untuk rancangan di Yogya:
-         tinggi hujan 20 mm/jam
-         laju resapan air 100 mm/jam,
-         jika diameter adalah 10 cm  maka debit resapan adalah 3,14 x 102 / 4 x 100 = 7850 mm3/jam = 7,85 liter/jam
sehingga apabila luas tutupan atap rumah adalah 60 m2 , maka kebutuhan jumlah lubang adalah : 20x 60 / 7.85 /10 = 15,286 atau diperlukan 16 lubang. Angka pembagi 10 pada hitungan adalah faktor konversi satuan.


Untuk memudahkan telah kami siapkan tabel untuk standar disain yang dapat digunakan sebagai acuan kebutuhan minimal jumlah biopori sebagai berikut:



Berdasarkan rumusan di atas maka kebutuhan jumlah biopori jika menggunakan diameter lebih besar yaitu 20 maka dengan luas penutupan tanah  80 m2 akan membutuhkan 6 buah lubang biopori.

Demikian materi ini kami sampaikan agar dapat menjadi pembelajaran dan selanjutnya menjadi pedoman sederhana dalam membuat sendiri lubang peresapan biopori.



sumber :
  •  publikasi Ir. Kamir R. Brata, M.Sc., staf konservasi tanah dan air Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor;
  • Simulasi hitungan disiapkan sendiri berdasarkan data sekunder di Sleman