- Alam mempunyai keterbatasan dalam mengalirkan air hujan
- Kita tidak dapat seenaknya mengalirkan air segera ke sungai karena ada orang akan menderita kena banjir kiriman kita, walaupun memang akhirnya ke laut
- Telah terjadi landsubsidance yang signifikan sehingga banyak pemukiman berada di bawah muka air laut sehingga air yang kita harapkan dapat mengalir keluar ternyata hanya diam di selokan dan meluap jika ditambah hujan lagi
- Pelurusan sungai dan normalisasi sungai telah mengorbankan ekosistem sungai sehingga sungai menjadi mati tanpa kehidupan hewan dan tumbuhan air.
Jadi pasti akan ada persoalan jika kita segera membuang air hujan secara langsung ke sungai, maka muncul kebutuhan membangun waduk banjir (retention storage) yang berfungsi menjadi buffer ketika sungai tidak lagi dapat menerima air buangan kita dapat ditampung disini dan tidak menggenangi lingkunan kita. Ini umum dilakukan di kota kota besar. Biasanya juga dilengkapi dengan sistem pompa untuk mengalirkan air dari waduk ke sungai. Pada kondisi normal waduk banjir juga dapat menjadi wisata air misanlya memancing, atau sekedar daerah hijau paru-paru kota.
Untuk daerah hulu ada yang namanya waduk resapan (detention storage) ataupun terkenal dengan nama Embung, dimana dengan bangunan embung ini diharapkan dapat menahan air lebih banyak di hulu sehingga kota-kota dihilirnya tidak segera menerima luapan banjir akan tetapi tertampung di hulu nya (dalam embung) sehingga dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar embung untuk sumber air baku. Peda Embung juga diharapkan dapat terjadi resapan sebagai pengisian air tanah buatan sehingga dengan adanya air tanah maka menghambat terjadinya land subsidance atau penurunan tanah.
Land subsidance adalah penurunan tanah secara regional karena tanah memadat (settlement), hal ini terjadi karena air tanah yang tadinya mengisi rongga tanah telah habis dipompa dan beban tanah di atasnya terus bertambah oleh bangunan besar dan berat. Ini menjadi tantangan bagi insinyur untuk membangun bangunan yang tidak menyebabkan regional settlement.
Masalah land subsidance dan krisi air bersih di kota besar ini juga menimbulkan kebutuhan sumur resapan saluran resapan dan juga lubang peresapan (biopori) yang sebenarnya diwajibkan untuk pemukiman-pemukiman di kota-kota.
Jika sudah terlanjur berada di cekungan maka sistem drainase Polder manjadi pilihan mutlak dimana sisem ini mengandalkan penutupan area dari banjir, membuat kolam-kolam detensi untuk ujung dari drainase lokal pemukiman. Dari kolam detensi dialirkan ke waduk banjir yang terhubung ke sungai alam dengan menggunakan pompa pompa air yang terus hidup. Hal ini menyebabkan perlunya beberapa pompa untuk shift kerja dan juga untuk cadangan. Sebuah upaya yang mahal dan sulit untuk dapat dimiliki oleh orang miskin perkotaan.
Jika sudah terlanjur berada di cekungan maka sistem drainase Polder manjadi pilihan mutlak dimana sisem ini mengandalkan penutupan area dari banjir, membuat kolam-kolam detensi untuk ujung dari drainase lokal pemukiman. Dari kolam detensi dialirkan ke waduk banjir yang terhubung ke sungai alam dengan menggunakan pompa pompa air yang terus hidup. Hal ini menyebabkan perlunya beberapa pompa untuk shift kerja dan juga untuk cadangan. Sebuah upaya yang mahal dan sulit untuk dapat dimiliki oleh orang miskin perkotaan.
Masalah kriteria frekwensi banjir yang menjadi patokan dalam membatasi secara ekonomi keandalan bangunan pengendali aliran banjir juga mengalami pergeseran dari tahun ketahun karena alam yang semakin rusak maka iklim menjadi lebih ekstrim. Pemanasan global dan perubahan iklim bukan isapan jempol dan sebaiknya patut diperhitungkan dalam rekayasa drainase. Jadi penggunaan teknologi untuk mengatur jatuhnya hujan untuk mengurangi dampak banjir menjadi lebih sulit dilakukan.
Demikian sepintas pandangan kami sebagai staf pengajar hidrolika universitas janabadra yogyakarta
Nizar Achmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar